Jangan Cari Aku di Facebook-mu

Jangan Cari Aku di Facebook-mu



Apakah Facebook? Mahluk apakah ia, hingga namanya hari ini kian dengan mudah kita dengar di mana-mana? Kekuatan apa pula yang membuatnya hari ini mampu menarik 2 juta orang dari seluruh dunia sebagai users account baru setiap minggunya, bergerak kian meningkat pesat dibandingkan laman sejenisnya?

Apakah Facebook semata kita definisikan sebagai salah satu laman jejaring pertemanan di dunia maya, seperti halnya Friendster, Plurk, Twitter, dan lainnya? Ataukah ia bisa juga menunjukkan fenomena sosial yang mengacu pada perubahan tingkah laku masyarakat dunia?

Lalu siapa sesungguhnya Mark Zuckerberg yang mulai mengembangkan Facebook dengan bahasa pemrograman Ruby On Rails di usianya ke 21 tahun itu? Dan kenapa juga tulisan ini mesti saya beri judul “Jangan Cari Aku di Facebook-mu”, seakan-akan saya hendak menularkan sebentuk kesinisan usang yang tak laku zaman tentang perilaku kegandrungan manusia akan Facebook di era cyber saat ini?

Mari kita jawab satu persatu pertanyaan di atas…

Facebook Sebagai Wadah Sosial

"Facebook adalah wadah sosial yang menghubungkan seseorang dengan teman serta orang lain yang bekerja, belajar, dan hidup di sekitarnya." Begitu kalimat pembuka yang saya jumpai pertengahan tahun lalu ketika pertama kali masuk ke halaman utama Facebook.com.

Dan segera setelah itu, saya sukses membuat sebuah akun atas nama saya di sana. Terasa menyenangkan memang, pada awalnya Facebook mampu ‘menghubungkan’ saya dengan banyak kawan baru, bersosialisasi, bahkan berkumpul lagi, dan berdiskusi dengan kawan-kawan lama yang sudah bertahun-tahun tak pernah ketemu.

Yang menarik bagi saya saat itu, saat tersadar bahwa sebagian besar kawan-kawan saya para penghuni Facebook itu rata-rata menghabiskan minimal 30 menit sehari beraktivitas di sana. Entah sekedar memperbaiki status di wall-nya, mengunggah foto-foto narsis terbaru mereka, ada pula yang rajin menulis puisi dan catatan harian untuk sekedar dikomentari kawan-kawannya.

Lagipula siapa yang tahu bahwa di balik “username” tertentu di antara daftar kawan-kawan saya tersebut, beroperasi sebuah penopengan realitas akan keaslian jati diri mereka sendiri di dunia nyata. Dalam artian, siapa saja bisa menjadi apa saja dalam dunia Facebook!

Orang pun tak mampu lagi membedakan mana yang selebritis betulan dan mana yang freak, sebab dua-duanya bisa sama-sama eksis dan tenar di dunia Facebook. Karenanya dalam konteks ini, bisa dibilang bahwa Facebook merupakan semua mimpi dari representasi dan rekreasi realitas penggunanya.

Dan hal tersebut mulai terasa aneh saat saya tersadar bahwa di antara sesama penghuni Facebook sendiri, rupanya mulai terbangun pola rutinitas harian mereka di sana. Seakan-akan mereka semua bertetangga, bersosialisasi dan hidup normal layaknya di dunia nyata. Tak pelak lagi, lambat-laun saya pun curiga bahwa makin hari Facebook mulai terasa seperti sebuah dunia yang berdiri sendiri dan kian terpisah dari realitas sosial sehari-hari penggunanya.

Apakah mungkin bahwa gambaran Facebook sebagai candu masyarakat cyber kita belakangan ini, sejalan dengan yang dulu pernah diracaukan Baudrillard lewat filsafat metaforiknya tentang sebuah kematian sosial (“death of the social”)?

Facebook Sebagai Hantu Sosial

Bagi Baudrillard, kematian sosial di sini bisa kita pahami ketika ide tentang wujud sosial dan masyarakat diambil-alih oleh kuasa media dan informasi massa. Lenyapnya ide sosial dan masyarakat di sini mestilah dipicu dengan berkembangnya model-model sosial semu (artificial communities atau virtual society) yang terbentuk dari relasi, interaksi, dan komunikasi yang bersifat artifisial, sebagaimana yang tengah terjadi di dunia Facebook.

Lalu setelah relasi sosial tak lagi mengada dan kenyataan sosial habis terserap di dalamnya, apa yang kini tersisa, kawan? Jawabnya tak bisa lain adalah simulakrum sosial itu sendiri! Hahaha... Baru sekarang bisa saya bayangkan betapa naifnya Marx ketika bermimpi bahwa suatu hari nanti di masa depan, kekuatan ekonomi masyarakat bisa menopang kehidupan sosial yang komunal dan egaliter.

Kenapa naif? Karena Facebook tak hanya menunjukkan sebuah kematian sosial yang sedang terjadi di depan mata kepala saya saat ini, tapi juga membuktikan bahwa dimensi sosial itu sendiri bisa dijual. Di mana nilai-nilai keakraban dan kebersamaan komunitas itu sendiri menjadi komoditi yang diperjualbelikan dalam rangka mendapatkan keuntungan.

Dalam artian juga, siapa saja bisa menjadi apa saja dalam dunia Facebook selama dia tak keberatan dibombardir berbagai iklan produk dari semisal Coca-Cola dan Microsoft. Kalau masih tak percaya, simak saja niat CEO sekaligus pendiri Facebook Mark Zuckerberg pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos yang menyatakan bahwa, "Pada 2009 ini, Facebook akan intensif untuk mencari uang dengan memanfaatkan database anggota dengan lebih serius menggarap iklan." (03/02, Tempointeraktif.com)

Maka alih-alih sekedar menjadi wadah sosial yang menghubungkan seseorang dengan bla…bla...bla..., rupanya tampak jelas sekali bahwa Facebook merupakan eksperimen mutakhir para penggiat kapitalisme tingkat lanjut.

Kalau kasarnya saya bicara, Facebook bukanlah laman jejaring sosial yang murni menghubungkan para penggunanya. Tapi ini tentang bagaimana sebuah perusahaan kapitalis bisa membuat komunitas global nan artifisial yang melewati batas-batas antar negara, dan menjual produk seperti Coca-Cola kepada jutaan user-nya. Dan ini juga tentang bagaimana perusahaan kapitalis bisa menghasilkan uang banyak dari pertemanan para user-nya itu sendiri.

Penutup

Sampai di titik ini, akan sangat mungkin bila kawan-kawan pembaca menganggap saya ini semacam pemikir radikal yang post-Marxist dan menganut sikap kritis tertentu terhadap perkembangan kapitalisme mutakhir. Judul esai ini yang berbunyi “Jangan Cari Aku di Facebook-mu”, bisa saja diartikan kawan-kawan bahwa penulis di sini adalah orang yang telah dibangkitkan kesadarannya untuk keluar dari jebakan kapitalisme dengan cara menghapus akun Facebook yang dibuatnya setengah tahun yang lalu.

Kalau betul kawan-kawan menduga seperti itu, bisa saya pastikan kalian keliru. Alih-alih bersuntuk-suntuk ria dengan segala tetek bengek pemikiran kritis tentang Facebook dan kematian realitas sosial, saya justru begitu bersemangat menghanyutkan diri dalam ironi yang terlanjut fatal ini.

Hanya saja kali ini, bukan diri saya yang asli yang tampil dalam drama semu nan banal berjudul Facebook itu. Meminjam bahasa Nuruddin Asyadhie yang bilang bahwa Facebook adalah novel polifonis dunia cyber, maka bolehlah jika kali ini saya kembali menjadi salah satu tokoh di novel tersebut, tentu dengan karakter tokoh dan alur cerita yang saya kehendaki sendiri.

Maka jangan cari aku di Facebook-mu, kawan. Sebab siapa tahu saya di sana sudah jadi seseorang lain yang boleh jadi tak pernah kamu kenal sebelumnya.



Jangan Biarkan Facebook Membombardir Email Anda

Setelah anda mempunyai sebuah profil di Facebook, sudah seharusnya anda mengubah beberapa setting default yang ditetapkan oleh Facebook. Satu yang terpenting adalah setting tentang email notifikasi yang bakal anda terima lewat email anda. Pada kondisi default Facebook memberikan opsi ON atas semua notifikasi, itu artinya anda bakal dibanjiri email dari Facebook, hingga inbox andapun akan penuh dengan email-email notifikasi yang kadangkala ngga penting.

Untuk mengubah setting tentang notifikasi ini bisa anda akses lewat menu [setting] > [account setting] anda akan dibawa ke halaman My Account, setelah itu anda klik tab [notification]. Bisa anda lihat, di sana banyak sekali notifikasi yang disediakan oleh Facebook untuk dikirim ke email anda. Mulai dari notifikasi tentang Photos, Groups, Pages, Video sampai kepada notifikasi yang berkaitan dengan Help Centre. Dan dalam keadaan default Facebook meng-ON-kan semuanya!

Sekarang waktunya anda untuk memilah dan memilih poin-poin mana saja yang penting, yang memang layak untuk dikirimkan notifikasinya ke email anda bila terjadi update pada poin tersebut. Misal, bila anda menginginkan Facebook memberikan notifikasi bila ada pesan dari Friends anda di Facebook, maka berilah tanda ON pada “Send me a message”. Kemudian bila anda mengganggap bahwa semua hal yang berkaitan dengan Help Centre itu ngga penting, maka berilah tanda OFF pada “Replies to my Help Center questions”.

Sumber

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Bahaya Laten Internet Bagi Otak

Bahaya Laten Internet Bagi Otak



Pada 1970, Pemerintah Amerika Serikat mencanangkan tahun tersebut sebagai tahun dimulainya Dekade Membaca. Membuat Gedung Putih ikut sibuk mengalokasikan sejumlah Dana Federal untuk mendukung berbagai usaha yang dapat mengenalkan warganya mengenal seni membaca sejak dini.

Berbagai klub membaca dan kursus membaca pun jadi marak. Sekolah-sekolah dan fakultas juga mulai mengadakan pelatihan membaca bagi anak didiknya. Bahwa yang tengah dilakukan Amerika saat itu adalah mengoptimalkan kemampuan membaca dengan baik, dan dengannya pengetahuan mereka bakal terbentuk dengan baik pula.

Tapi kini semuanya mulai berubah. Seiring meningkatnya konsumsi kaum muda Amerika akan internet, mereka mulai mengkhawatirkan tumbuh-suburnya benih-benih anti-intelektualisme sebagai akibat dari perkembangan teknologi internet yang pesat belakangan ini.

Apa pasal? Rupa-rupanya, mereka menyadari bahwa ada yang tengah berubah dari cara mereka membaca secara tradisional dalam bentuk cetakan, dengan membaca ketika sedang online di internet.

Adalah Nicholas Carr dalam sebuah artikelnya yang mengaku mulai kehilangan kemampuannya membaca dengan fokus. Carr yang menengarai hal tersebut akibat kebiasaannya berseluncur ke berbagai laman, loncat dari satu halaman ke halaman lainnya, berpindah dari satu tautan ke tautan berikutnya. Dan setiap Carr mulai membaca sebuah artikel secara online ia mengaku demikian, "Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking for something else to do."

Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan Bruce Friedman, seorang patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan; "I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish article on the web or in print… I can't read War and Peace anymore. I've lost the ability to do that. Even a blog post of more than three or four paragraphs is too much to absorb. I skim it," terang Friedman yang dikutip juga oleh Carr.

Tak sampai di situ, simak juga penelitian tentang online habits yang digelar University College London waktu lalu. Mereka meneliti tentang kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses infomasi tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis lainnya. Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk selanjutnya pindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal menyimpan file artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka benar-benar membacanya.

Carr kemudian juga mengutip keresahan Maryanne Wolf, seorang psikolog dari Tufts University. Gaya membaca online yang mengedepankan etos kesegeraan dan keefisiensian, menurut Wolf, dikhawatirkan dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk membaca dengan seksama. Sebab menurutnya, membaca bukanlah kemampuan alamiah manusia. Kita mesti melatih otak kita untuk menerjemahkan simbol karakter dan huruf yang kita lihat ke dalam bahasa yang kita pahami. Untuk itu, media dan teknologi yang kita gunakan ketika membaca, memainkan peran penting dalam membentuk pola sirkuit syaraf dalam otak kita.

Dari sini ingatan saya pun beralih pada teori komunikasi yang saya pelajari dalam kelas matakuliah “Filsafat Komunikasi” semasa kuliah dulu. Bahwa media komunikasi tak sekedar alat untuk menyampaikan pesan komunikasi, tapi juga secara kreatif akan membentuk konstruksi realitas tertentu dalam benak manusia yang menerima dan memaknai pesan tersebut. Tak heran bila karakter media juga dipandang mampu membentuk proses berpikir seseorang.

Asumsi inilah yang kemudian bisa kita lekatkan pada internet sebagai media komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media komunikasi lainnya. Bahwa jelas sekarang, ditengah-tengah pujian, pemujaan, dan ketergantungan banyak orang akan internet, ternyata ia menyimpan bahaya latennya sendiri. Internet –dengan segala kecepatan dan obesitas informasinya– lambat laun niscaya melemahkan konsentrasi otak kita.

Dari sini baru muncul pertanyaan, adakah kita menyadari hal tersebut? Perlukah saya ulangi lagi pernyataan Pascal 30 tahun silam di sini yang berkata, "Saat kita membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, kita tidak akan mengerti apa-apa."

* Artikel di atas ringkasan dari "Berenang Kita di Google yang Dangkal"

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Agama Ramah Perbedaan

Agama Ramah Perbedaan



oleh: Andy Hadiyanto
( staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial UNJ )

Bangsa Indonesia yang tengah berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multidimensi sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai komponen untuk menggalang semua potensi bangsa, agar terjadi sebuah kerjasama yang efektif dan produktif. Namun, upaya-upaya seperti itu seringkaliterhambat oleh adanya potensi-potensi konflik yang demikian banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dsb).

Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama. Apalgi akhir-akhir ini nampaknya penafsiran agama telah diwarnai oleh berbagai bias kepentingan dan ideologi politik tertentu, yang mengakibatkan beberapa kelompok tertentu berani menghakimi kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham sebagai kelompok sesat, murtad, kafir, bid’ah, dan berbagai sebutan lain yang mengkonotasikan ketidakpantasan kelompok lain untuk eksis dan hidup berdampingan secara damai dengan mereka.

Seringkali ajaran agama yang bernilai universal dan tidak memihak berubah menjadi sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Seringkali pula Tuhan yang Maha Luhur dan Maha Mulia diseret oleh subyektifitas manusia untuk membenarkan sikap sekterian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan-tangan nakal manusia. Ia sengaja dipahami lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengkafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.

Pemahaman agama yang demikian itu pada akhirnya semakin mengentalkan sikap fanatik dan intoleran terhadap perbedaan pemahaman agama, tidak saja anatar umat beragama tetapi juga antar umat seagama. Celakanya pemahaman tersebut seringkali juga dijadikan pembenaran untuk menyapu dan menghabiskan orang atau kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka.

Pada kondisi di mana dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai luhurnya sehingga dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme sekterian, stereotype, dan spirit saling mengkafirkan antar sesama umat seagama atau antar umat yang berbeda agama.

Apanila kita kembali melihat contoh Rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi konflik akan dapat dieliminir dengan mengedepankan persamaan dala keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan, tetapi dalam menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam keberbedaan tersebut tetapi sebaliknya, justru harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi, bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus mengedepankan kesadaran bahawa ada satu persamaan yang mengikat kita semua, yaitu kesadaran bahwa kita adalah sama-sama bangsa Indonesia.

Dalam konteks teologis, pencarian nilai kebenaran kemanusiaan bersama perlu dilakukan oleh setiap umat beragama dalam upaya mempersempit “jurang pemisah” antar pemahaman dan keyakinan agama. Kebenaran universal inilah yang harus dipegangi bersama oleh seluruh umat manusia, apabila konflik kemanusiaan yang terjadi akibat hegemoni peradaban yang satu atas peradaban yang lainnya sepanjang sejarah keberadaan manusia ingin diakhiri.

Ajaran-ajaran agama harus ditransedensikan sedemikian rupa sehingga melahirkan sebuah pemahaman agama yang sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung akan nilai-nilai luhur dan kebenaran (hanif).

Dikaitkan dengan ajaran Islam dan keberadaan umat Islam dewasa ini, upaya pencarian kebenaran universal dapat dilakukan –mengutip pendapat Jalaludin Rahmat melalui “revolusi konseptual”, yaitu sebuah usaha secara sistematis untuk melakukan perombakan secara radikal struktur kognitif, sikap pendekatan, dan muatan berpikir umat Islam dengan meniupkan kembali ruh tradisi keilmuan ke dalam Islam, sebagai upaya untuk mengatasi kelesuan intelektual, kelembaman mental, konservatisme yang kaku, serta fanatisme sekterian yang membabi buta dalam struktur kesadaran umat Islam masa kini. Karena hanya dengan membangkitkan kembali tradisi berpikir ilmiah umat Islam akan dapat menyelami kembali ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.

Islam sebagai irahmatan lil ‘alamin tidak didapati pada norma-norma hukum (syari’ah) yang cenderung formalistik. Namun ke-rahmatan lil ‘alamin-annya Islam justru terletak pada visi tauhidnya, suatu visi yang mengahncurkan budaya konflik yang diakibatkan adanya eksploitasi manusia (yang kuat) atas manusia lainnya (yang lemah), baik eksploitasi struktural ataupun budaya. Selanjutnya visi tauhid tersebut terejawantahkan dalam nilai-nilai luhur Islam yang menghendaki pemeliharaan atas jiwa, harta kepemilikan, garis keturunan, akal budi, dan agama.

Nilai-nilai luhur tersebut bersifat mengglobal dan menzaman, ia sejalan dengan akal budi manusia (sesuai ikatan primordial manusia ketika masih berada di dalam ruh) dan karenanya ia bukanlah monopli Islam saja, tetapi dapat dijumpai pada ajaran-ajaran agama lainnya yang kesemuannnya muncul sebagai ekspresi mendalam manusia atas nilai-nilai transedental yang ada dalam diri mereka.

Nampaknya kita perlu mengkaji ulang proses pembelajaran agama kita, baik di ranah formal atau informal, agar lebih mengacu pada pengembangan visi tauhid tersebut dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih damai dan humanis.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Frustasi

Frustasi



Oleh rvxen

Frustasi sangat erat dengan kekecewaan. Sebuah gejala terhentinya keinginan atau cita-cita. Tak kenal umur, kelamin ataupun suku. Hamper semua tempat dimana ada manusia rasa frustasi menjadi bagian terelakkan. Keniscayaan sebuah masa dalam ranah psikologi manusia. Perasaan kecewa, semisal kita mencintai seseorang yang tiba-tiba terhadang persetujuan orangtua. Atau persoalan keseharian, seperti seorang pria yang merayu wanita, tapi si wanita menolak. Begitupun sebalknya. Pasti patah hati. Putus asa. Tak ada lagi hasrat untuk mencinta.

Dalam keadaan frustasi akut, manusia bisa menjadi agresif. Frustasi jika tidak dibendung rasa sabar, maka akan disalurkan lewat kekerasan. Seorang bayi mungkin akan berteriak hingga memekakkan telinga ketika botol susunya diambil; orang tua jompo tak segan membunuh anaknya yang menjadi penjahat; tak sedikit anak muda yang membentak bahkan memukul orang tuanya karena tak diijinkan menikah dengan kekasihnya. Hingga tak jarang pula seorang pria memperkosa gadis yang menolak cintanya. Tindak tanduk ini memicu animal instinct manusia kepada sesuatu yang dipandang mengecewakan, menghambat, atau menghalangi.

Seorang psikoanalisis, Erich Fromm, menyatakan manusia perlu mengalami frustasi. Karena tanpa kemampuan menerima dan mengalami frustasi, manusia nyaris tak dapat berkembang samas sekali. Pemicu hadirnya agresi bukan hanya situasi pelarangan semata, melainkan juga ketidakadilan. Frustasi juga bisa melanda secara kolektif, dalam hal ini sebuah bangsa. Suatu bangsa bisa frustasi karena cita-citanya menjadi sejahtera dan berkeadilan tak kunjung terwujud. Persis seperti kejadian Revolusi Prancis. Masyarakat bangsanya kecewa dan frustasi terhadap satu tatanan pemerintahan yang otoriter Raja Louis XIV. Di Indonesia, aksi besar-besaran [agresi] dipicu mahasiswa pada Mei 1998, bertujuan menggulingkan rezim otoriter orde baru.

Menengok kembali ke pasca 1998, di sana-sini rakyat menopang kehidupannya sendiri dengan usaha di sektor informal. Menghidupi diri sendiri tanpa ketergantungan pada pemerintah. Rakyat banting tulang sambil bersabar di tengah ketrpurukan ekonomi bangsa. Sayangnya, berbagai upaya rakyat dalam bertahan hidup dan mandiri tak disokong oleh kondisi politik yang baik. Politik pemerintahan sebagai kendaraan bangsa mewujudkan kemakmuran bersama malah menjadi ajang rebut kekuasaan. Buntutnya rasa kecewa [frustasi] rakyat terhadap politik pemerintahan terbentuk. Parahnya, rakyat tak hanya dilanda frustasi, tapi juga apatisme akut.

Persoalan utama sebenarnya adalah produk hukum yang tak berpihak kepada rakyat kecil. Misalnya, kebijakan privatisasi dan komerisalisasi BUMN. Dengan begitu pihak asing atau swasta bisa menentukan harga. Akibatnya, kebijakan kenaikan BBM terjadi disebabkan faktor ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam. Privatisasi rumah sakit Negara juga menyebabkan masyarakat miskin tak mampu beli obat bahkan mati karena sakit.

Kondisi inilah yang disebut sebagai proses behavioristik. Masyarakat tak lagi bisa memilih menjadi pintar dan hidup layak. Rakyat dikondisikan untuk terus miskin, terus melarat. Biaya bahan pokok, kesehatan dan pendidikan semakin tinggi. Situasi seperti ini kadang luput dari perhatian rakyat, karena didesak kebutuhan paling urgen, mempertahankan hidup. Sayangnya, rasa frustasi ini justru disalurkan pada hal-hal yang bersifat hedonis. Banyak dari rakyat malah lari dari kenyataan [escape from reality] yang memang pahit untuk dibahas. Menuju berbagai kesenangan temporal; narkoba dan seks. Tak sedikit juga yang berpikir fatalistic; menumpukkan semua harapan pada keyakinan transenden agar semua kondisi bangsa ini menjadi lebih baik.

Lebih ari itu, rasa frustasi bangsa akan keadaan ekonomi, sosial dan budaya yang menyedihkan lebih dimaknai sebagai akibat dari kesalahan diri sendiri ataupun takdir. Apa yang dirasakan, kini, Cuma menyalahkan diri sebagai bangsa inferior, hina dan rendah. Padahal, yang perlu dilakukan adalah pembenahan sistem pemerintahan. Apakah perubahan hanya hadir dari langit? Apa yang menjadi hak rakyat adalah kewajiban pemerintah. Setelah terpuruk oleh krisis ekonomi, rakyat masih bisa bertahan hidup dan berusaha bersabar. Suatu bangsa yang luar biasa sabar.

Menilik kembali kemunculan sikap agresi manusia secara kolektif paa satu kekecewaan, sepertinya kita akan masih membicarakan satu perubahan yang lamban. Sampai mana batas akhir kesabaran rakyat? Ini merupakan pertanyaan kita semua. Bentuk pelarian pada kesenangan dari frustasi pun hanya bersifat sementara. Tidak menutup kemungkinan perilaku agresif-kolektif kembali terjadi. Seperti saat reformasi 1998 atau Revolusi Prancis.

Melihat kondisi ini maka kita akan berharap banyak pada kalangan intelektual untuk melakukan tindakan yang semestinya dilakukan, pencerdasa dan kemauan bersama untuk mengembalikan cita-cita menuju bangsa yang adil dan sejahtera. Tapi kalau kalangan intelektual dilanda frustasi juga, mari berbagi frustasi! Seraya menunggu ledakan agresif lagi.

Sumber

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Saya Seorang Penggemar, Bukan Seorang Fanatik!

Saya Seorang Penggemar, Bukan Seorang Fanatik!



Oleh fajri siregar

MARI bayangkan dahulu gambaran di bawah ini:

Muda-mudi dressed up alias berpakaian dengan maksimal untuk mengekspresikan diri. Mulai dari sepatu kets buluk, boots yang kalau bisa DocMart, celana mincut (atau pensil, terserah apalah namanya) atau bermotif kotak-kotak ala Jimmy Danger, kaos band, kemeja flanel, dan tidak lupa kacamata nerd. Biasa? Memang. Yang namanya penggemar pasti ingin menyerupai idolanya.

Bayangkan pula ini; sebuah pertandingan sepak bola yang diwarnai dengan lautan suporter dari masing-masing klub. Tiap pendukung membawa segala macam atribut mulai dari kaos, syal, bendera sampai drum. Tapi tiba-tiba muncul suporter dari kubu lain. Dan keriuhan pun dalam sekejap bisa menjadi kericuhan. Perkelahian antar fans pun tak terhindari. Padahal siapa yang menjadi provokator pun tak jelas. Ajang sportifitas justru menjadi ajang perkelahian.

Atau pernah mendengar istilah die hard fans. Istilah bagi penggemar yang melihat sang idola bagaikan malaikat yang tak pernah berbuat salah dan seperti satu-satunya harapan yang dia miliki dalam hidup? Ibarat kata, kemanapun engkau pergi daku akan mengikuti. Ya, orang-orang seperti ini memang ada dan kita pun ikut heran mengapa mereka bisa menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap idolanya.

Semua gambaran di atas menunjukkan sebuah contoh dari sesuatu yang bisa kita istilahkan dengan fanatisme. Fanatisme sendiri bisa kita artikan sebagai bentuk perasaan atau emosi yang sifatnya menunjukkan rasa antusiasme terhadap kegiatan atau karya. Seperti halnya terhadap olahraga, musik, karya seni, dan lain sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menjadi seorang penggemar. Karena dengan menjadi penggemar, seseorang pada dasarnya memberikan apresiasi atau penghargaan kepada sesuatu atau seseorang. Sebaliknya, penghargaan kita terhadap si idola juga merupakan motivasi yang mendorongnya untuk terus berkarya dan memberikan yang terbaik untuk penggemarnya. Jadi, bentuk hubungan antara penggemar dan idola itu sebenarnya sah dan sehat-sehat saja. Secara sosiologis hal ini dinamakan pertukaran berupa pemberian penghargaan (reward).

Namun, hal yang berbahaya adalah ketika seorang penggemar menjadi seorang penggemar fanatik. Fanatisme yang telah dicontohkan diatas menunjukkan sifat-sifat dari seorang fanatik. Apa yang membedakannya?

Perbedaan itu terletak pada perilakunya. Seorang fanatik menunjukkan perilaku yang cenderung sudah meresahkan dan melanggar aturan atau norma yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, seorang fanatik kelakuannya sudah di luar batas toleransi dari orang sekelilingnya dan sudah tidak wajar dalam tindak-tanduknya.

Selain itu, yang membedakan seorang fanatik dengan penggemar biasa adalah masalah identifikasi. Jika seorang penggemar biasa hanya menyukai karya atau hasil yang ditorehkan dari si tokoh, maka seorang fanatik sudah lebih dari itu. Ia akan mengidentifikasi dirinya dengan sang idola, atau sederhananya, ia merasa menemukan persamaan dalam diri si idola atau merasa si idola dalam hal tertentu mewakili dirinya. Atau bisa juga, karena masalah identifikasi tersebut, si penggemar ingin bisa menyerupai sang idola dengan cara apapun, maka dipilihlah cara termudah, berdandan ala sang idola.

Jika identifikasi tersebut hanya diwujudkan dalam bentuk dandanan tentu tidak menjadi masalah. Tetapi masalah identifikasi itu bisa bertambah parah jika si penggemar sudah merasa menjadi bagian dari sang idola. Jadi, apapun yang terkait dengan sang idola akan ia rasakan terhadap dirinya pula. Contohnya jika si idola diberitakan secara negatif di infotainment, maka itu akan ia rasakan secara pribadi, dan membuatnya tersinggung.

Di sinilah sebuah ‘pengkultusan’ idola terjadi, di mana seorang fanatik memberi pemujaan berlebih. Dan seperti yang dijelaskan sosiolog Jerman, Max Weber, pemujaan yang dimaksud adalah melakukan tindakan-tindakan yang didorong oleh afeksi semata dan tidak didasari pertimbangan rasional alias berpikir masak-masak mengenai akibat yang mungkin terjadi. Hal ini bisa menjelaskan kenapa seorang penggemar sepak bola bisa khilaf atau lupa diri pada saat membela tim kesayangannya.

Disinilah letak permasalahannya. Jika perasaan ‘ngefans’ itu sudah berlebihan, maka contoh-contoh yang sudah dibahas di awal sangat mungkin terjadi. Dan tentu hal tersebut tidak kita harapkan. Di sini pula letak perbedaan seorang penggemar dan seorang fanatik.

Hubungan penggemar dan idola yang paling bagus tentunya adalah yang bersifat menginspirasi dan mendorong kita untuk bisa melakukan hal yang sama positifnya, tanpa meniru. Idola dalam hal ini sifatnya mempengaruhi atau memberi pengaruh. Misalnya seseorang ingin menjadi pesepakbola karena terpikat permainan Maradona, atau ketika seorang bocah bermain band karena menyukai Muse, Seringai, Metallica dan yang lainnya.

Tetapi mengidolakan bukan berarti menjadi buta dan hanya menaruh segala harapan pada sang idola. Justru sang idola harusnya menimbulkan harapan bahwa si penggemar bisa melakukan hal yang sama seperti dia. Belajarlah dari sang idola, tanpa harus digurui olehnya. Lagipula, seperti kata Candil dkk, rocker juga manusia. Jadi, untuk apa kita harus mendewakan mereka?

Sumber

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati